Tidak terasa 17 tahun sudah waktu
 berlalu sejak saya berdiri tegak di hadapan para “kyojukai” Graduate 
School of Biosphere Sciences, Hiroshima University untuk mempertahankan 
hasil penelitian selama kurang lebih 6 tahun. Ketika menyelesaikan 
Master dan Ph.D Course  dan berhak untuk mendapatkan gelar M.Sc serta Ph.D, saya mendapatkan tiga lembar dokumen, dokumen 1 adalah Sotsugyo-sho,
 Sertifikat penghargaan berbahasa Jepang, dokumen ke 2 adalah Sertifikat
 kelululsan dalam bahasa Inggris dan dokumen yang ke 3 adalah transkrip 
nilai mata kuliah yang saya ambil selama mengikuti Master Course dalam 
bahasa Inggris. Jumlah dokumen yang sama, saya terima juga untuk Ph.D 
Course. Yang menarik keseluruhan mata kuliah yang saya ambil mendapat 
nilai A. Penilaian mata kuliah hanya dalam huruf A yang berarti Excellence, B berarti Good dan C berarti Passable.
Beberapa hari kemudian, saya menghadap ke Professor
 pembimbing saya dan memberanikan diri untuk mengajukan “protes” kenapa 
nilai-nilai saya semuanya Excellence padahal, saya sadar betul 
kemampuan saya dalam mengikuti beberapa mata kuliah yang pengantarnya 
bahasa Jepang tidak begitu bagus untuk tidak mengatakan sangat jelek. 
Penerimaan saya terhadap mata ajaran yang diberikan tidak lebih dari 
20%. Sempat terlintas pikiran jelek saya yang mengamini asumsi sementara
 orang bahwa sekolah di Jepang sangat mudah, yang penting tidak 
neko-neko, datang pagi dan pulang malam, akhirnya juga akan menjadi 
Doktor. Saya sempat berpikir, Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah 
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau dengan upaya begini saja sudah 
diberi nilai tinggi, saya khawatir saya cepat puas diri. Sewaktu saya 
protes, Professor saya mengatakan, di Jepang kami tidak sulit memberi 
nilai karena filosofi kami mendidik bukan untuk mendapatkan hasil 
tertinggi yang dikuantifikasi dengan mengkotak-kotakkan kemampuan 
seseorang. Filosofi kami mendidik adalah untuk mengenal dan melakukan 
proses penemukenalan mencari kebenaran ilmiah. Selama 
proses menuju tujuan kebenaran ilmiah yang dilakukan sesuai 
kaidah-kaidah yang disepakati, angka tidak menjadi penting. Filosofi 
mendidik kami adalah filosofi gekirei, filosofi mendorong.
Percakapan saya dengan Prof. Kenji Namba di tahun 
ke 3 saya di Hiroshima merupakan sebuah titik balik yang penting bagi 
hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya melihat angka dan nilai.
 Dari “acara protes” itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak 
dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Teringat di 
benak saya betapa mudahnya saya mendapatkan nilai A dari Master dan Ph.D
 Course. Pada sisi yang lain di Indonesia, saya melihat sulitnya 
menyelesaikan studi S2 dan S3. Para penguji (kyojukai) siap 
menerkam dan menyerang dengan pertanyaan di luar konteks penelitian 
dengan alasan untuk menguji wawasan keilmuan para calon Master dan 
Doktor. Ada ketidak percayaan diantara penguji dan calon tentang 
kapabilitas dan proses yang dilakukan oleh para calon. Mungkin inilah 
penyebab mengapa para penguji mengeluarkan pertanyaan untuk menguji 
apakah penelitian ini benar-benar dilakukan sendiri, sehingga semangat gekirei untuk mendapatkan ilmu baru jauh panggang dari api. Yang terjadi malahan “perang” konfirmasi. Tidak ada proses gekirei,
 yang ada proses ketidakpercayaan dan menekan si calon yang hasilnya 
bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak 
hebat-hebat betul. Belakangan saya mengerti bahwa orang yang tertekan 
ternyata saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Semangat gekirei ini terlihat ketika 
pertama kali saya mempresentasikan hasil penelitian di Annual Symposium 
of Fisheries Science di Tokyo tahun 1992. Butuh waktu sebulan untuk 
berlatih mempresentasikan hasil penelitian dengan waktu yang terbatas. 
Berhubung pertama kali presentasi di depan ahli-ahli perikanan se 
Jepang, ada rasa takut yang bercampur dengan ketidakyakinan untuk 
memberi yang terbaik. Walaupun begitu saya tidak merasa menjadi terdakwa
 ketika tidak bisa menjelaskan pertanyaan yang diajukan para ahli ini, 
karena bagaikan seorang pembela, Professor saya berdiri tegak dan 
mengatakan mahasiswa bimbingan saya ini tahu apa jawabannya tetapi masih
 terkendala dengan bahasa. Dan semua peserta bertepuk tangan untuk 
memberi apresiasi kerja penelitian saya. Begitu selanjutnya di 
acara-acara symposium, peran pembela dari Professor mulai dilepaskan 
secara perlahan-lahan dan akhirnya menjadi sparring partner yang baik 
dalam berdiskusi. Pelajaran dari ini semua bahwa melakukan gekirei dengan menerapkan prinsip-prinsip Continous Quality Improvement.
Dua bulan belakangan ini saya disibukkan dengan 
urusan penyetaraan ijazah SD anak-anak Indonesia yang sekolah di Jepang 
dan akan kembali ke Indonesia. Berbeda dengan di Indonesia, anak saya 
yang sekolah di SD Jepang awalnya mengalami kesulitan, walaupun begitu 
rapornya tidak diberi angka merah untuk mata pelajaran yang dinilai 
masih harus ditingkatkan, melainkan diberi kalimat yang mendorong untuk 
bekerja lebih keras, “Vanya wa jūryō de kaishi shimashita. Kanojo wa 
honki de sore o tameshite mimashita. Shikashi, vanya wa shinchoku jōkyō o
 shimeshite iru” (Vanya telah memulainya dengan berat. Dia mencobanya 
dengan sungguh-sungguh. Vanya juga telah menunjukkan kemajuan). Rapor 
anak-anak SD di Jepang ditulis dalam bentuk verbal. Ini yang menyibukkan
 saya karena penyetaraan nilai SD di Indonesia harus di kuantifikasi 
dalam bentuk angka 1-10. Jelas sekali mereka membangun karakter. Semoga 
ini semua membuka mata kita dengan mencoba melihat dengan kacamata yang 
berbeda.
Belajar dari pelajaran di atas, sejatinya kita-kita yang berhasil 
mendapat gelar M.A, M.Sc dan Ph.D serta Dr. Eng di Jepang paham betul 
arti 
gekirei itu, minimal melihat bagaimana pendidikan dasar di Jepang meletakkan fondasi 
gekirei.
 Semesta selama kita menuntut ilmu di Jepang yang terasa tidak nyaman 
mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Sejatinya ketika 
kembali ke Indonesia kita harus bisa menghidupkan inisiatif dan 
menggelorakan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata 
menunjukkan otak kita tidak statis, melainkan dapat mengerucut 
(mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung 
dari ancaman atau 
gekirei yang didapat dari orang-orang di 
sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan kita semua dapat tumbuh, 
sebaliknya dapat menurun. Akan terasa aneh kalau kebiasaan-kebiasaan 
serta nilai baik yang di dapat selama di Jepang tidak dapat kita 
tularkan di Indonesia, sehingga asumsi orang-orang yang mengatakan bahwa
 mendapatkan gelar M.Sc atau Ph.D di Jepang sangat mudah, bisa dibantah 
dengan memperlihatkan 
attitude-attitude dan karya-karya yang memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan bermanfaat buat orang lain. 
Iqbal Djawad. Pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin 
Makassar. Sekarang tinggal dan ditugaskan di Tokyo.
sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/03/arti-sebuah-msc-dan-phd-547621.html
 
0 komentar:
Post a Comment