Sayang Rasulullah, Kenali Warisannya

Salah seorang sejarawan yang menulis biografi Nabi Muhammad Saw, Tamim Ansary dalam karya best seller-nya Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, menyatakan bahwa tak ada kesepakatan mutlak catatan sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW.  Menurutnya, ini wajar karena momen kelahiran Beliau tak banyak menarik perhatian. Meski bagian dari Quraisy, suku dengan kedudukan paling kuat di Makkah. Namun beliau tak punya status di sana. Karena beliau tergolong salah satu klan suku yang miskin, yakni Bani Hasyim. Namun diskursus sejarah tak menghalangi umat Islam memilih titik kompromi terbaik dengan cara sendiri, memperingati kelahiran beliau setiap tahunnya dalam bingkai Maulid Nabi. Terlebih di negara kita, Maulid Nabi telah membaur dengan tradisi. Sebuah bukti konkrit produk generasi ke generasi dan mengakar ke tubuh umat. Upaya guna menjaga memori figur yang diletakkan di peringkat pertama sebagai orang paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia oleh penulis Michael Hart ini, diharapkan dapat terus berlanjut. Tetapi, apa yang paling urgen dalam aktivitas menjaga kenangan terhadap Rasulullah adalah berupaya mengenang dan melanjutkan apa yang telah beliau wariskan. 

Sehingga, kenangan terhadap beliau tak sebatas bentuk simbolik, tapi mengedepankan maknawi. Karena melalui penjagaan terhadap warisan inilah bukti sesungguhnya wujud kerinduan kita. Relevan Kerap didapati di tengah kita selalu saja ada pertanyaan yang menyangsikan relevansi ajaran Rasulullah dengan kehidupan kekinian. Dalih tantangan kehidupan yang semakin kompleks dan sebagainya, biasanya berujung menggiring kita kepada sebuah opini bahwa apa yang beliau ajarkan tidak berlaku lagi saat ini. Ini tentu menyesatkan. Memang zaman terus berubah, tapi ingatlah, sebagaimana yang dinukil dari Muqadimmah-nya Ibnu Khaldun, bahwa “sejarah terus berulang”. Boleh jadi era berganti, tetapi esensinya akan tetap sama.

Bisa kita kaji dari warisan Rasulullah salah satunya “piranti lunak” bernama akhlak. Yang mendapat tempat spesial dalam ajaran Islam. Sayangnya, penggalian dan ulasan tentang akhlak dalam dakwah Islam kontemporer dinilai masih banyak berkutat pada permukaan. Alhasil akhlak punya wilayah sempit. Akhlak di benak kita ditangkap sebagai bentuk “kearifan” semata, belum menyentuh alam bawah sadar kita. Sehingga membuat kita selalu bersemangat mengimplementasikan ke dalam kehidupan riil. Disebabkan tahu kita sangat memerlukannya. Padahal berkaca pada wajah dunia, tak dapat disangkal, absennya akhlak merupakan pangkal chaos. Di awal sejarah Islam, di mana perbudakan dan subordinasi terhadap kaum wanita jadi hal buruk di bangsa Arab, Rasulullah telah menempuh berbagai cara terbaik untuk membenarkan itu semua. Beliau mampu melakukan perubahan signifikan tak sampai 23 tahun. Lazimnya, secara sosiologis, mengubah satu bangsa lazimnya diperlukan tujuh generasi. Dalam konteks kekinian, berjayanya kapitalisme misalnya juga tak lepas dari disingkirkannya akhlak. Islam pada hakikatnya tidak memusuhi kapitalisme dalam bentuk “alaminya”. 

Toh, berkaca pada kehidupan Rasul dan para sahabat, kapitalisme unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sebagai pedagang ternama. Namun, ketika barat menawarkan kapitalisme yang menisbikan akhlak, di mana Islam sangat keras menentangnya. Eksploitasi terhadap kaum lemah jadi sesuatu yang sah ditempuh untuk mengumpulkan modal. Begitupula halnya terhadap ideologi-ideologi lainnya, yang disikapi cara yang sama bila mengenyampingkan akhlak. Amal sebagai Indikator. Di samping soal ideologi, kerinduan dan kecintaan terhadap Rasulullah hendaklah juga lebih melebar ke tataran praktis, dalam detail keseharian kita. Mungkin inilah pekerjaan rumah yang perlu penyempurnaan. Sesuatu yang tak mendeskripsikan Islam yang sebenarnya menjadi ironi yang kemudian dilekatkan terhadap umat Islam. Kemiskinan, ketidakdisiplinan, rendahnya etos kerja dan lainnya sungguh sangat menohok. Terlebih bagi negara kita yang notabene penduduk Islam terbanyak. Ini bisa jadi bermula dari pemahaman dan penerapan akhlak kita yang belum paripurna. Luput memandang akhlak dalam bentuk totalitas, sehingga yang detail terlanjur dianggap sebagai sesuatu yang remeh. 

Padahal bisa jadi sangat menentukan. Sebut saja seperti kedisplinan, saling menghargai dan menaati etika, norma dan sesuatu yang telah menjadi kesepakatan bersama. Maka jangan heran bila sekarang kebablasan berpendapat mendominasi; Semua bisa berkomentar tanpa ada batasan; Fitnah dan fakta dibatasi dinding yang sangat tipis, menguatkan gambaran akhir zaman sebagaimana hadist Rasulullah; Sosok panutan lebih ditentukan oleh kabar dan polesan audio dan visual; Kebenaran dimusuhi dan kezaliman dilindungi dengan cara sistemik dan sebagainya. Gejala-gejala ini masif di sekitar kita. Lantas, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi? Tentu tidak. Karena, indikasi kecintaan kita terhadap Rasulullah ada pada sejauhmana kita bisa menjaga warisannya. Hanya dengan mempelajari dan berusaha mengamalkan mulai yang terkecil perubahan ke arah lebih baik menjadi sebuah keniscayaan. Adapun stigma miring yang menerpa umat Islam semestinya semakin membuka mata kita. Bahwa masalahnya bukan ajaran beliau yang tak sesuai. Tetapi kita yang belum tuntas mengamalkannya.***

Syafruddin Sa’an, Anggota DPRD Provinsi Riau

0 komentar: